Sebelum Melangkah
Terik cahaya
pada siang itu membangunkan tidurku yang tak lelap sedari malam pukul sebelas. Mataku
dipaksa terbuka oleh keadaan yang rumit. Membuatku sangat ingin membenturkan
kenangan itu dengan keras. Meskipun harus membekas.
Pada tiap relung
dijemariku merindukan sentuhan tanganmu yang sudah beberapa malam ini membuatku
lupa rasanya saat kau ada. Raga ini berusaha kuat menahan jari-jariku untuk
tidak mencarimu dalam bentuk nyata. Sulit untukku menampar hati ini agar sadar,
bahwa tentang kita harus berakhir tanpa pernah masuk dalam rencana.
Lelah kita sudah
melewati batas akhir yang terlampau jauh. Ketika berpisah kau dan aku berteriak
tanpa suara yang gemuruh. Ada perih yang akan sulit kamu pahami saat kita tak
ada lagi. Dan aku pun kini hanya bisa bertanya pada diriku sendiri, mengapa aku
tak mudah melangkah lebih jauh dari ini.
Terik cahaya
kini sudah diganti oleh mendungnya langit yang mengikuti suasana hatiku. Pukul empat
sore lebih tujuh menit langit yang terang berubah jadi kelabu. Hujan menitipkan
salam untuk diriku yang sedang tersungkur berdoa sambil menyebut ampun pada
Tuhanku, sebab aku terlalu menikmati hari bersamamu hingga tak sadar semakin
jauh dari-Nya. Bukan salahmu, aku yang terlalu dalam jatuh ke dalam euphoria
kebersamaan kita. Aku pernah lebih sakit dari ini, dulu. Seperti yang kuduga, perpisahan
yang selalu kita hindari kini sudah menjadi tamu yang enggan pergi. Dan perpisahan
itu juga yang membuatku berhenti memintamu bertahan. Bukan karena kalah oleh
keadaan, hanya akhirnya kau dan aku saling menyadari cinta bukan perihal
memaksakan.
Untuk saat ini, namamu menjadi kata
yang paling getir pada hari-hariku. Mereka masih menyebut namamu seolah kita
masih bersama nyatanya tidak. Sekalipun dihajar oleh kerasnya kenyataan bahwa
kau dan aku tak lagi ada, aku percaya cinta akan tetap kuat di dalam hati juga
terekam jelas dalam ingatan. Sebelum telapak kaki ini melangkah satu tahap, aku
akan menikmati hari-hariku yang tanpa kamu. Walau harus perih ketika tak ada
lagi ucapan selamat pagi, tak ada lagi pria lebih muda satu tahun dariku ini
mengantar sesuatu ke rumah dan tempat kerja untuk aku makan, tak ada lagi
satu-dua atau tiga liter susu kesukaanku yang dibawanya saat berkunjung ke
rumah, juga sosoknya yang nyata menjemputku di tempat kerja. Lelah fisikku
selalu hilang ketika ia ada di depan mata. Ketika ia dihadapanku, yang kuingin
hanya satu. Peluknya. Meski bisa dihitung oleh jemari seluruh pelukan yang
dapat aku raih selama kita masih bersama, dipeluknya adalah hal yang kusuka.
Ketidakberadaannya saat ini menjadi
hal yang paling sulit pada tiap detik yang selalu berjalan ke arah jarum jam
sebelah kanan. Mungkin karena kaki ini masih enggan melangkah dan lebih memilih
untuk menikmati sepiku yang tanpa dia. Sebelum aku memilih untuk melangkah, aku
ingin kembali akrab dengan sepi, sendiri, sedih juga hampa. Aku ingin menyapa
mereka dengan hangat hingga aku lelah sendiri, sampai akhirnya memutuskan untuk
siap melangkah dari awal sebuah perpisahan.
Aku
akan terus ada, setidaknya sampai kau minta. sebab pergi darimu bukan keputusan,
melainkan sebuah keterpaksaan.-@_geniuss
Comments
Post a Comment